Umrah/haji merupakan salah satu ibadah utama bagi seorang Muslim. Berbeda dengan ibadah-ibadah lainnya, seperti shalat dan membaca Alquran, ibadah umrah/haji memerlukan dukungan finansial yang relatif besar, apalagi bagi kaum Muslimin yang negerinya jauh dari Saudi Arabia.
Bicara soal biaya umrah/haji, penting sekali bagi setiap calon jamaah umrah/haji untuk memperhatikan kehalalannya. ”Ibadah umrah/haji, maupun ibadah-ibadah lainnya harus dilakukan dengan rezeki yang halal,” kata Prof Dr KH Didin Hafidhuddin.
Ketua Umum Baznas-Dompet Dhuafa Republika itu menegaskan, rezeki yang halal merupakan salah satu sarana untuk diterimanya ibadah. Ia mengutii sebuah hadits Nabi yang mengatakan, kalau seseorang berangkat umrah/haji dengan rezeki yang halal, lalu mengucapkan talbiyah (labbaikallaaahumma labbaika), maka para malaikat menjawab, ”Kebaikan dan keselamatan bagi Anda. Umrah/haji Anda mabrur dan makbul.” Namun, kalau ia berangkat umrah/haji dengan rezeki yang haram, lalu mengucapkan kalimat talbiyah, maka para malaikat menjawab, ”La labbaika wa laa sa’daika (tidak ada keselamatan dan kebahagiaan bagi Anda). Umrah/haji Anda ditolak.”
Jangankan ibadah umrah/haji. Bahkan berdoa pun tidak akan dikabulkan oleh Allah, kalau kita makan rezeki yang haram. Rasul menggambarkan, ada orang yang sungguh-sungguh sekali berdoa, namun ia makan yang haram, minum yang haram, mengenakan pakaian yang haram, dan dikenyangkan oleh barang-barang yang haram, bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?
Jadi, tegas Kiai Didin, rezeki yang halal sangat penting diperhatikan oleh setiap Muslim, termasuk mereka yang akan menunaikan ibadah umrah/haji. Halal itu berarti cara mendapatkannya maupun prosesnya. ”Cara mendapatkan rezeki tersebut harus halal, kemudian dibersihkan dengan membayar zakat, infak dan sedekah (ZIS), barulah digunakan untuk membayar biaya umrah/haji,” tandas KH Didin Hafidhuddin.
Pimpinan Yayasan Berkah Haramain, Padang, Ustadz Afif Abdulhaady juga mengemukakan pentingnya berumrah/haji dengan rezeki yang halal. ”Umrah/haji itu harus dengan rezeki yang halal,” kata Ustadz Afif Abdulhaady kepada Republika.
Ia mengutip sebuah hadits Nabi yang artinya, ”Allah itu Mahabaik, dan hanya menerima yang baik.” ”Hadits itu jelas menegaskan bahwa umrah/haji itu harus dengan rezeki yang halal. Kalau seseorang melaksanakan umrah/haji dengan rezeki yang haram, maka umrah/hajinya tidak diterima,” tegas Ustadz Afif.
Bukankah jamaah umrah/haji tersebut sampai ke Tanah Suci dan melakukan ritual umrah/haji seperti jamaah umrah/haji lainnya? ”Walaupun ia tiba di Tanah Suci dan melakukan ritual umrah/haji, ibadahnya tidak akan diterima,” tandasnya.
Ustadz Afif mengibaratkan dengan tamu yang datang ke sebuah rumah. Ada tamu yang hanya sampai di halaman, ada yang sampai di teras rumah, ada pula yang sampai di ruang tamu. Ada tamu yang bisa bertemu dengan tuan rumah, dan menyampaikan maksud dan tujuan kedatangannya, serta dikabulkan oleh tuan rumah. Namun ada pula tamu yang tidak bisa bertemu dengan tuan rumah, meskipun ia sudah sampai di rumah tersebut.
Ada tamu yang merasa sangat nyaman di rumah tersebut, dan merasakan sentuhan spiritual yang luar biasa. Ada pula tamu yang merasakan pengalaman biasa-biasa saja saat berada di rumah tersebut, dan ia tetap merasakan ada jarak dengan tuan rumah. ”Jadi, walaupun orang tersebut sampai di Baitullah, ia tidak akan ‘bertemu’ atau diterima oleh Allah SWT kalau umrah/hajinya menggunakan rezeki yang haram,” papar Ustadz Afif Abdulhaady.
Pengasuh Pengajian Bani Adam, Boyolali, Ustadz Matyoto Fahruri mengatakan orang yang berumrah/haji adalah pergi ke Tanah Suci dan ia mendatangi Yang Mahasuci. ”Karena itu orang yang berumrah/haji harus suci,” kata Ustadz Matyoto Fahruri kepada Republika. Ia menyebutkan, kesucian itu mencakup beberapa hal. Pertama, suci/halal biaya yang dipakai untuk pergi umrah/haji tersebut.
Kedua, suci dari dosa. Sebelum berangkat umrah/haji, bertaubatlah terlebih dahulu. ”Ada orang yang takut umrah/haji karena khawatir di Tanah Suci nanti mendapatkan hukuman dari Allah atas dosa-dosa dan kesalahannya. Sebetulnya hal itu tak perlu dikhawatirkan, asalkan sebelum pergi umrah/haji, ia bertaubat terlebih dahulu kepada Allah SWT,” tegasnya. Apa tanda umrah/haji yang tidak diterima? ”Umrah/hajinya tidak akan berkah, tidak akan membekas dalam kehidupannya. Bahkan, boleh jadi, sepulang umrah/haji, kelakuannya makin menjadi-jadi (tidak baik),” tutur Ustadz Afif Abdulhaady.
Ustadz Matyoto Fahruri mengemukakan umrah/haji dengan rezeki yang haram tidak akan memberi dampak positif bagi orang yang bersangkutan. ”Umrah/hajinya tidak akan membekas dalam dirinya. Ia tidak akan merasakan sentuhan spiritual yang mendalam yang biasanya dirasakan oleh mereka yang umrah/hajinya diterima (mabrur dan makbul),” tandas Ustadz Matyoto Fahruri.
Sumber : Republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar