Kamis, 04 Juni 2009

THE GOLDEN AGE

The golden age, masa keemasan, adalah periode yang amat penting bagi seorang anak. Pendidikan pada rentang usia tersebut sangat menentukan tahap perkembangan anak selanjutnya. Masa-masa emas tersebut berada dalam rentang usia 0-6 tahun.


Berbagai penelitian membuktikan betapa pentingnya menanamkan nilai-nilai yang baik pada seorang anak dalam periode usia keemasan itu. Kecerdasan seorang anak, menurut penelitian, mencapai 50 persen pada usia 0-4 tahun. Hingga usia 8 tahun kecerdasannya meningkat sampai 80 persen, dan puncaknya (100 persen) di usia 18 tahun.

Sayangnya, kesadaran pentingnya sentuhan yang terencana di usia dini ini belum disadari betul oleh sebagian masyarakat. Masa-masa berharga itu masih kerap terabaikan, meski banyak pakar, pendidik, dan pemerhati anak sudah kerap mendengungkannya di ruang-ruang seminar dan di media massa.


Tak hanya itu. Tidak sedikit pula buku yang diterbitkan membahas soal pentingnya pendidikan anak usia dini. Bagaimana mengoptimalkan kecerdasan anak dengan mengasah IQ dan EQ, misalnya, dapat dilihat dari buku yang ditulis Eileen Rachman.


Sejatinya, sentuhan dan penanaman nilai-nilai kepada anak usia dini selama periode keemasan itu tidak sekadar memupuk kecerdasan dengan harapan tumbuh menjadi anak cerdas. Tak kalah pentingnya adalah menanamkan modal sosial (social capital) sebagai bekal dalam menjalani kehidupan di masa-masa selanjutnya.


Modal sosial menjadi bekal kehidupan yang penting dan mendasar untuk menyelesaikan konflik dari berbagai persoalan. Ini terbentuk melalui kesadaran yang mendalam bahwa manusia pada hakekatnya diciptakan secara berbeda-beda. Perbedaan pendapat, persepsi, dan tujuan sudah menjadi sesuatu yang lasim. Toleransi, pengertian, dan penghargaan atas keberagaman dan perbedaan inilah yang menjadi modal utama untuk mewujudkan modal sosial.

Kemampuan untuk menerima dan menghargai perbedaan pendapat perlu ditanamkan sejak dini pada setiap anak. Anak-anak dikenalkan sekaligus dibekali social life skill, seperti belajar menerima dan menghadapi perbedaan, rasa suka dan tidak suka, setuju dan tidak setuju, berbeda posisi depan dan belakang.


Social life skill pada anak bisa dimulai dengan menerapkan kurikulum di lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Peningkatan dalam perilaku dapat ditingkatkan melalui program-program pendidikan, pembiasaan, dan stimulasi yang tepat bagi si buah hati.


Konteks inilah yang menjadi bahasan tiga buku seri dalam bentuk modul yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Pendidikan Anak Usia Dini Universitas Negeri Yogyakarta bekerjasama dengan Penerbit Tiara Wacana. Dipilah dalam tiga modul -- Empati, Afiliasi dan Resolusi Konflik, Pengembangan Kebiasaan Positif -- ketiga buku ini bisa menjadi panduan untuk membantu para guru, orangtua, dan lembaga yang berkaitan dengan pendidikan dalam memberikan stimulans kepada anak.


Seperti diuraikan dalam pengantar buku itu, setelah mempelajari modul ini, pembaca diharapkan memiliki berbagai kemampuan dan kecakapan dalam memberikan bekal modal sosial kepada anak dalam usia keemasan. Antara lain, kemampuan menjelaskan seluk beluk penuh pengertian dan menerapkannya kepada anak didik dan kemampuan menjelaskan pengertian kepedulian pada sesama dan menerapkannya kepada anak didik.


Kesadaran pentingnya panduan bagi pendidik dan orangtua dalam memberi bekal pendidikan bagi anak usia dini itu pula yang mendorong Direktorat Pendidian Anak Usia Dini (PAUD), Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menerbitkan modul dalam bentuk buku. Sejak 2002, direktorat ini telah menerbitkan sejumlah modul. Sebutlah, misalnya, modul pelatihan pengelola Pusat PADU, modul pelatihan pengelola dan tenaga pendidik Taman Penitipan Anak, dan modul pelatihan pengelola dan pendidik Kelompok Bermain.


Sebagaimana diutarakan Gutama, Direktur Pendidikan Anak Usia Dini dalam pengantar salah satu buku modul itu, keberadaan direktorat ini bertujuan untuk memberikan pembinaan teknis terhadap upaya pelayanan pendidikan anak usia dini dalam rentang usia 0-6 tahun. Ini agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai tahap tumbuh kembang dan potensi masing-masing.


Bagaimanapun, pendidikan usia dini memiliki peranan penting dalam membentuk karakter anak yang bermoral dan berakhlak mulia, kreatif, inovatif, dan kompetitif. Pendidikan usia dini, menurut Fasli Jalal dalam sambutan di sebuah buku modul -- saat itu Dirjen PLS dan Pemuda Depdiknas -- bukan sekadar meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan yang terkait dengan bidang keilmuan. Lebih dari itu adalah mempersiapkan anak agar kelak mampu mengusai berbagai tantangan di masa depan.


Meski demikian, pendidikan untuk anak usia dini bukan merupakan proses mengisi otak dengan berbagai informasi sebanyak mungkin, melainkan proses menumbuhkan, memupuk, mendorong, dan menyediakan lingkungan yang memungkinkan anak mengembangkan potensi yang dimilikinya seoptimal mungkin. Karena itu, Fasli mengingatkan, pendidikan bukan didasarkan atas apa yang terbaik menurut orang dewasa tapi didasarkan apa yang terbaik untuk anak.


Lepas dari itu, kesadaran kolektif dari semua pihak perlu dibangun untuk memanfaatkan masa-masa keemasan anak usia dini. Berbagai buku menjelaskan soal itu, menjadi panduan mengantar anak usia dini tumbuh lebih optimal.


( Sumber : Republika Online )