Jumat, 27 Maret 2009

Yang Harus Dilakukan Saat Suami Meninggal

Hidup ini penuh dengan misteri, hanya Allah yang mengetahuinya. Suatu saat kita bahagia namun di lain waktu sedih menghampiri kita. Kebahagiaan dan kesedihan saling berganti mengisi hari-hari manusia. Ketika kebahagiaan menghampiri, hal itu bukanlah suatu masalah yang berarti, namun ketika ujian dan cobaan datang perlu kesabaran dan ketabahan yang berlebih.


Begitu pula kehidupan pasutri, saat pertemuan merupakan hari-hari indah yang tidak ingin dilewatkan. Satu hal yang tidak bisa kita pungkiri, bahwa ada pertemuan pasti ada perpisahan. Ketika sepasang suami istri bertemu dalam satu ikatan pernikahan, harus disadari bahwa nantinya pasti akan ada perpisahan yang menyakitkan karena perceraian atau perpisahan yang menyedihkan karena meninggalnya salah satu di antara mereka berdua.

Biasanya istri adalah makhluk yang paling berat menanggung beban ini, karena mereka akan menyandang status sosial yang baru yaitu janda. Tulisan ini bukan nasihat untuk wanita yang menjadi janda karena dicerai, akan tetapi ini adalah untaian nasihat dari dua ulama terkemuka terkait dengan apa yang harus dilakukan wanita yang menjadi janda karena suaminya meninggal dan sedang menjalani masa iddah yaitu empat bulan sepuluh hari?


Lalu apa kewajiban-kewajiban dan hukum-hukum wanita terhadap suaminya yang meninggal?


Syaikh Utsaimin rahimahullah ketika ditanya tentang masalah di atas beliau menjawab, wanita yang ditinggal mati suaminya berkewajiban tinggal di rumahnya dan tidak keluar dari rumahnya kecuali karena keadaan darurat. Ia pun berkewajiban menjauhi segala sesuatu yang mengandung hiasan, yaitu berupa pakaian, perhiasan, wewangian, celak mata dan lain-lainnya yang termasuk hiasan. Dibolehkan baginya untuk berbicara kepada orang lain melalui telepon, umpamanya, dan dibolehkan juga naik ke atas rumah untuk melihat bulan. Sebagian orang awam ada yang mengatakan bahwa wanita yang sedang menjalani masa iddah karena ditinggal mati suaminya tidak boleh melihat bulan, karena bulan bagi mereka bagaikan wajah seseorang, jika wanita itu naik ke atas rumah untuk melihat bulan, sama artinya dengan adanya seseorang yang melihat dirinya. Semua ini adalah khurafat. Wanita tersebut hendaknya tinggal di dalam rumahnya dan ia boleh pergi ke bagian mana saja dari bagian rumahnya, boleh ke atasnya dan boleh juga ke bawahnya.


Syaikh Ibnu Jibrin rahimahullah dalam Fatawa Al-Mar’ah menjelaskan bahwa wanita yang sedang menjalani masa iddah hendaknya menjauhi hiasan yang berupa pakaian kebesaran, pakaian indah, perhiasan, bedak dan celak kecantikan dan yang serupa itu. Hendaknya pula ia tidak keluar dari rumahnya kecuali karena darurat dengan tidak berhias dan tidak mengenakan wewangian serta menampakkan diri di hadapan kaum lelaki yang bukan mahramnya. Dibolehkan baginya untuk berjalan-jalan di dalam rumahnya dan seputar dalamnya, naik ke atas dan sebagainya.


Menjawab Telepon?

Mengenai menjawab telepon bagi wanita yang sedang menjalani masa iddah, Syaikh Ibnu Jibrin rahimahullahWallahu a’lam. menjawabnya, jika perlu dibolehkan berbicara di telepon dan lainnya, jika ia tahu bahwa lawan bicaranya itu juga wanita, tapi jika itu orang-orang yang ingin berkenalan, maka hendaknya ia langsung memutuskan pembicaraan. Hal ini diwajibkan pula atas wanita lainnya yang tidak sedang menjalani masa iddah. Lain dari itu, dibolehkan juga berbicara dengan kerabatnya yang bukan mahram dari balik tabir atau melalui telepon atau lainnya, sebagaimana hal ini dibolehkan di luar masa menjalani iddah.


Sumber: Al Fatawa Asy-Syar’iyyah fi Al-masa’il al-Ashriyyah min fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia : FATWA-FATWA TERKINI, Darul Haq.

Tidak ada komentar: